Awas Bahaya Laten Serakah Digital
Mumpung gratis, bagaimana tips menyelesaikan banyak online course sekaligus?. Dilontarkan oleh Mahasiswa dalam sebuah forum, barangkali pertanyaan ini juga mewakili banyak orang. Namun belum selesai saya menjawab, disusul pertanyaan berikutnya. “Ada banyak hal baru, lalu apa yang harus saya pelajari dulu?” dan lagi “Apa saya harus menghapus semua sosmed supaya bisa kembali fokus?” Pertanyaan bertubi-tubi ini, kebetulan persis seperti yang sedang saya alami. Fenomena ini saya menyebutnya sebagai Information Overload, kondisi dimana kita bukannya kekurangan akses informasi, melainkan justru kebanyakan.
Bicara soal online course, betapa banyak platform penyedia konten menawarkan obral harga terutama dalam rangka menyambut era adaptasi baru. Sebut saja Coursera dan Udemy. Siapa yang tidak tertarik, berbagai konten berkualitas diproduksi oleh Universitas dan Industri kelas dunia. Dalam perspetktif bisnis, tentu hal ini momentum bagi penyedia konten manapun untuk mengakuisisi konsumen sebanyak mungkin. Sebaliknya, bagi konsumen momentum ini ditunggu-tunggu untuk dapat menikmati konten berbayar secara gratis.
Kembali pada information oveload, seharusnya sebagai manusia merdeka kita tidak boleh terjebak pada paradigma ini. Manusia jauh lebih pandai dalam olah pikir dan rasa. Kita harus bisa mengendalikan arus informasi, sesuai porsi dan kebutuhan. Bukan sebaliknya, derasnya arus informasi membuat kita seolah-olah harus mengikuti tren. Jangan sampai gara-gara terseret arus informasi dari internet, kita jadi bersikap tahu segalanya seperti Bu Tejo yang sedang viral.
Teruntuk bagi civitas akademik baik siswa, mahasiswa, guru ataupun dosen tentunya lazim memerankan teknologi sebagai alat pendukung proses belajar. Namun itu bukan segala-galanya, lho ya!. Mas Rama tidak harus sama seperti Mbak Ning yang bisa melahap habis online course dalam waktu singkat. Karena bagi Mas Rama, belajar online itu membosankan dan bikin ngantuk.
Namun konsekuensinya Mas Rama harus menemukan sendiri cara belajar yang efektif. Misalnya, Mas Rama merasa kegiatan belajarnya sangat produktif apabila (1) menemukan konteks yang tepat, (2) menyampaikan kembali dalam bentuk lain seperti tulisan, vlog atau podcast (3) menemukan lingkungan komunitas yang pas dan (4) menemukan sosok inspirasi yang relevan. Sayangnya formula ini belum tentu cocok bagi Anda, sehingga Anda juga harus menemukan sendiri formula belajar yang efektif.
Mengutip pesan Bu Tejo (Film Pendek Tilik 2018), memiliki handphone jangan hanya untuk bergaya melainkan juga untuk mencari informasi. Tapi jangan kebablasan, secukupnya saja!.
Menengok smartphone sebenarnya cukup dilakukan saat ada notifikasi. Faktanya tak ada notifikasipun rasanya ingin mengetuk lock screen pada layar smartphone setiap saat. . Sepuluh tahun yang lalu, notifikasi itu fitur yang sangat berharga. Namun sekarang, beberapa orang bahkan beranggapan notifikasi justru menganggu sehingga harus dinon-aktifkan.
Melihat Instagram sebentar saja sebenarnya sudah cukup, sekedar tau informasi terkini. Namun kenyataanya, kalau sudah masuk kedalam aplikasi rasanya pingin scroll lagi, lagi dan lagi. Begitu pula dengan Facebook, Tiktok, Online Course dan Youtube. Sedikit saja sebenarnya sudah cukup, namun kenyataanya nambah terus seperti ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan. Hingga tak terasa berjam-jam kita habiskan waktu didepan gawai. Seolah-olah sibuk tapi tidak produktif. Inilah bahaya laten jika kita serakah digital.
Catatan : tulisan ini telah dirilis pada Tribun Jogja, Rabu 26 Agustus 2020.