Competitive Advantage Bisnis yang Ampuh Menembus Pandemi
Bukan Kualitas Apalagi Harga, Ini dia Competitive Advantage Bisnis Ampuh Menembus Pandemi.
“Kang, Kok Bisa perusahaan yang dikelola melewati krisis dan terus bertahan?”
Sebuah pertanyaan dilontarkan salah satu peserta forum online yang dihadiri oleh sesama founder startup. Beberapa diantaranya adalah Hepicar, Whouse dan Tahoow. Malam itu kami berkumpul, dipersatukan oleh suasana krisis. Ada satu hal yang sangat menarik. Beberapa peserta rupanya masih Mahasiswa. Baru saja mulai merintis startup ternyata malah disambut dengan kondisi pandemi. Namun bukan entrepreneur namanya jika menyerah begitu saja. Meskipun malam hari, kami tetap bersalam sapa dalam satu forum online untuk saling menguatkan satu sama lain.
Sering disinggung bahwasanya sebuah produk harus memiliki competitive advantage. Bisa harganya yang bersaing, kualitas yang unggul atau fungsionalitas yang tepat. Namun pada malam tersebut, kami mendapatkan beberapa pelajaran baru.
Belajar dari Netflix yang dibangun sejak tahun 1997 oleh Reed Hastings dan Marc Randolph, perusahaan media streaming digital ini semakin berjaya meskipun melewati berbagai macam cobaan. Krisis pandemi ini salah satu ujian bagi para pengusaha. Berbagai perusahaan yang digadang-gadang mendunia serta memiliki dukungan financial kuat, terpaksa merampingkan beberapa lini bisnisnya. Dikabarkan perusahaan-perusahaan seperti Gojek, Grab dan OYO juga melakukan efisiensi tim. Bahkan tidak sedikit para founder yang secara diam-diam rela berpuasa tanpa gaji demi berlangsungnya bisnis mereka melewati masa pandemi. Namun disaat perusahaan lain terancam goyah. Netflix justru mengalami pertumbuhan pengguna sangat pesat. Apa rahasianya?
Apakah gara-gara Netflix mengadopsi teknologi terbaru nan canggih? Rasanya bukan ini penyebabnya. Alasanya sederhana. Diluar krisis pandemi, jangankan perusahaan IT bahkan lapak kaki lima dan rumahan pun berusaha mengadopsi teknologi-teknologi baru. Sudah sepantasnya perusahaan teknologi terus berevolusi mengadopsi teknologi baru seiring perkembangan bisnisnya.
Kami mulai berdiskusi mengeksplorasi pikiran-pikiran peserta class online. Ada yang menyebut karena faktor ekspansi. Argumen ini diperkuat dengan berita bahwa Netflix bekerjasama dengan TVRI untuk menyapa seluruh masyarakat Indonesia. Padahal selama empat tahun ini, Netflix ditahan habis-habisan masuk ke Indonesia. Namun kabar terkini, seluruh pengguna layanan Indihome bisa mengaksesnya tanpa batas. Melalui masa pandami maupun tidak, rasanya Netflix akan tetap terus untuk berekspansi, sehingga logikanya bukan ini alasan utama Netflix memiliki pertumbuhan pengguna sangat pesat.
Salah seorang dari kami menyampaikan analisisnya. Menurutnya, Netflix mampu bertahan selama ini karena kemampuannya beradaptasi dalam berbagai krisis. Dikutip dari Harvard Business Review, adaptif merupakan faktor utama sebuah perusahaan bisa bertahan, melebihi factor competitive advantage yang selama ini kita kenal seperti harga, kualitas maupun layanan. Terlebih pada masa krisis pandemic, terjadinya perubahan perilaku pada pelanggan harus disikapi dengan cermat dan tanggap. Setidaknya ada empat hal yang memicu perusahaan harus adaptif, yaitu (1) adanya perkembangan teknologi, (2) adanya kompetisi, (3) adanya kebutuhan ekspansi dan (4) perubahan perilaku pengguna. Poin keempat ini yang harus diterjemahkan dalam konteks bisnis kita masing-masing.
Diskusi hangat ini ditutup oleh Aryo Wiryawan, salah seorang pengusaha sekaligus mentor tamu dalam program Inkubasi ABP Inkubator dengan quote bagus. “Bukan yang perusahaan paling kuat atau pintar yang bisa bertahan, tapi yang bisa mengelola perubahan (leon megginson).” Forum online ini merupakan salah satu aktivitas pengabdian tanpa batas dari Eli Pujastuti, Arif Akbarul Huda, Donni Prabowo dan Asro Nasiri selaku dosen Universitas Amikom Yogyakarta kepada masyarakat pelaku usaha rintisan.
Catatan : Tulisan ini tayang di harian Kedaulatan Rakyat (KR) 9/7/2020