Ini Dia Alat untuk Bisa Connected dengan Tuhan
Sementara itu semua informasi tidak dapat diukur akurasi kebenaranya, maka diri kita sendirilah yang bertanggung jawab atas setiap keputusan.
“Bapak, Ibu maaf kami tidak pulang”, tangis Bagus akhirnya pecah di hadapan Bapak Ibunya melalui video call. Konon puncak kangen paling dahsyat, ketika dua orang berjauhan tidak saling berkirim sapa melalui whatsapp. Tidak pula saling menelpon apalagi bertemu namun saling mention dalam doa. Bagus tidak sanggup menyampaikan kabar ini jauh hari sebelumnya, hingga lebaran yang dinantikan pun tiba.
“Mengapa tidak nekat pulang kampung saja to Kang, toh bandara dibuka lebar-lebar dan moda transportasi berjalan kembali?” Bejo spontan bertanya tepat setelah Bagus menutup teleponnya namun tidak ditanggapi. Pertarungan dalam dirinya masih berlangsung antara batin dengan pikirannya sendiri. Bagus merasa semakin banyak mengakses berita, justru semakin bingung.
Sebenarnya Bagus sengaja berhenti mengakses informasi berita. Namun tepat seminggu sebelum lebaran, pikirannya dibanjiri oleh derasnya informasi. Sayangnya setiap informasi tidak terukur akurasi kebenarannya. Baik itu kabar mengenai lonjakan angka pasien maupun kebijakan-kebijakan yang dianggap aneh. Ada juga informasi-informasi yang datang dari para epidemiologis, kawan-kawan medis, influencer, pemuka agama bahkan data scientist dan para peneliti.
“Duh, bagaimana ya ini cara matur ke Bapak Ibu?” Bagus bergumam dalam hati sambil berpikir keras. Laksana gajah di pelupuk mata tak tampak sedangkan semut di seberang lautan tampak, penyebaran virus seolah hanya terjadi jauh dari desa. Alih-alih menerapkan PSBB, di beberapa daerah kondisinya jauh lebih santai padahal diserbu ribuan pemudik. Bahkan suasananya mendekati normal seolah tak ada pandemi. Sholat jamaah masih berlangsung, pasar tetap saja ramai, kampung tidak lockdown. Meskipun sangat berbeda dengan suasana keseharian Bagus namun ia harus bersabar, tidak boleh menyalahkan siapapun. Hanya terjadi fenomena perbedaan cara pandang orang terhadap informasi. Entah disinformasi ataupun misinformasi.
Tiba-tiba keadaan seperti gelap, tak ada satupun sumber informasi yang ia percaya. “Disini begini, disana begitu. Katanya seperti ini tapi kok kaya gitu.” Gumam Bagus setiap waktu. Berbekal informasi Menerobos Kegelapan (Anisah Aini, 2020), ia berusaha menerobos sambil menggenggam erat dua alat. Di tangan kanannya alat untuk memegang keyakinan cinta dari Tuhannya sedangkan tangan kirinya memegang kitab untuk menemukan hikmah disetiap langkahnya.
“Sub-ḥānallażī asrā bi’abdihī laila..”. Seakan gelap, gelap gulita layaknya malam. Bagus tidak tau bagaimana yang benar, apa yang salah, siapa yang harus digugu dan apa yang harus dilakukan. Bagus tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui banyak hal. Hanya Gusti Allah satu-satunya yang bisa “memperjalankan” Bagus dalam keadaan gelap.
Pada saat bersamaan batinnya sedang berkecamuk. Batin yang sedang rindu orang tua, keluarga, kerabat, berjemaah, ber-majlis taklim, hingga rindu bersimpuh di tempat ibadah. Akumulasi kerinduan banyak hal ini, apabila tidak dikelola dengan baik mengakibatkan orang nekat melakukan suatu hal diluar nalar. Batin bisa bergelora, menggebu-gebu atau tersayat-sayat.
Kemampuan batin itu sangat dahsyat, hingga mampu menembus ruang dan waktu. Tidak ada satupun alat yang mampu mengukur kadarnya. Hal Inilah menjadikan batin satu-satunya alat yang berpotensi always connected dengan Tuhan. Semakin tajam mata batinnya, semakin mudah baginya melihat tanda-tanda dari Tuhan. Batin adalah aset sumber daya kita sebagai manusia untuk bisa connected dengan Tuhan. Itulah sebabnya Bagus pontang-panting ndak karuan berjuang terus-terusan menjaga orisinalitas bahkan mengasah ketajamannya. Sedangkan pikiran memiliki banyak limitasi sehingga tak sanggup menampung nalar bagaimana terjadinya rindu yang menggebu.
Sayangnya ketajaman batin setiap orang tidak sama. Jangankan terhadap orang lain, terhadap diri sendiri dalam rentang waktu berbeda saja bisa berubah. Bagus bulan ini bisa lebih kurang ajar daripada Bagus bulan kemarin. Dengan Tuhan, Bagus merasa lebih banyak disconnected-nya, ya paling banter re-connecting. Bukan tidak mungkin bahwa kesibukannya selama ini justru menjadi sebab koneksinya terganggu. Kepiawaiannya menggunakan teknologi, pemikiran-pemikiran dalam disiplin ilmunya atau pertemuan demi pertemuan justru menghasilkan benih kesombongan.
Kalau begini kejadiannya, bagaimana ia bisa menajamkan mata batin? Padahal pada saat gelap gulita seperti ini, Gusti Allah satu-satunya sumber cahaya yang memancar. Segala informasi baik dari scientist, akademis, tim medis, pemerintah atau bahkan ustadz hanyalah mercusuar-mercusuar saja. Selebihnya Bagus sendiri yang akhirnya harus memutuskan segala hal. Beruntungnya Gusti Allah maha pengasih, kita baru berjalan saja Dia sudah berlari mendekat.
“Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”
catatan : tulisan ini telah dimuat di Tribun Jogja, Rabu27 Mei 2020