Lupakan MP3, Lihat Kecanggihan Teknologi Spotify

Arif Akbarul Huda
4 min readAug 13, 2020

--

Ulasan ini merupakan rangkuman dari beberapa artikel pada jurnal internasional dalam topik Sistem Rekomendasi.

Masih ingat Winamp? Rasanya baru kemarin sore,kita menikmati lagu favorit dengan cara unduh file mp3, lalu mengelompokkannya file lagu dalam folder-folder yang tersusun rapih. Ada folder pop, ada folder keroncong, hingga religi. Kemudian kita load sesuai mood. Musik berirama slow kita nikmati pada malam hari, ketukan kencang didengarkan saat sedang beraktifitas, atau bernuansa religi jika sedang ingat Tuhan. Masa bodoh dengan legality, hak cipta atau hak-hak lain pada industry music.

Mundur dalam kurun waktu lebih jauh lagi, sebagian dari kita pernah melalui masa dimana kaset pita adalah barang berharga. Jika sedang gabut, iseng-iseng memasukan pensil kedalam lubang kaset lalu memutarnya. Tidak sedikit diantara kita yang rela menyisihkan uang saku, demi mendapatkan kaset asli dari penyayi idola. Sedikit lebih canggih, koleksi lagu dikemas pada kepingan Compact Disk (CD). Kalau sudah mbaret, bisa jadi hiasan dinding. Ah, rasanya seru sekali!.

Bagi orang yang belum bisa membeli album terbaru, paling banter pinjam teman. Sedangkan kalau lagunya sudah digital, ya tinggal copy paste. Namun keadaan ini berubah begitu cepat, seiring berkembangnya teknologi. Bukan hanya platform pemutar lagu seperti Spotify atau Joox saja yang berperan, melainkan juga infrastruktur jaringan internet serta biaya paket data yang semakin terjangkau. Berlangganan Spotify seharga kopi, bisa mendengarkan berbagai jenis lagu sepuasnya.

Ada hal menarik pada Spotify. Mari kita intip kecanggihan teknologi dibalik layer Spotify. Kemampuannya mempertemukan artis kepada market yang tepat (dalam ekosistem musik disebut fans), platform ini berhasil mendobrak perilaku konsumen dan produsen. Bagaimama hal ini bisa terjadi?

Dilansir dari laman resminya, pada akhir Quartal kedua tahun 2020 tercatat lebih dari 60 Juta track music dan 1,5 Juta konten podcast dengan 299 juta pendengar aktif perbulan. Sebagai analogi, perjalanan lintas negara dari Yogyakarta ke Amsterdam memerlukan waktu 21 jam. Apabila setiap lagu rata-rata berdurasi empat menit, maka kita cukup menyiapkan lagu 315 untuk dinikmati selama perjalanan. Bayangkan bisa bekeliling dunia berapakali sambil memutar 60 juta track?

Besarnya data serta laju pertumbuhan yang terus berlipat sangat cepat ini hampir tidak mungkin dikelola, kecuali dengan sistem teknologi dan informasi yang mumpuni. Tidak heran apabila Spotify termasuk jajaran perusahaan teknologi yang sangat diperhitungkan. Salah satu kunci keberhasilan Spotify adalah diterapkannya fitur Personalisasi pada halaman awal. Fitur personalisasi, memungkinkan para pendengar memperoleh rekomendasi lagu-lagu pilihan sesuai selera.

Personalisasi merupakan salah satu bagian kecil dari topik Sistem Rekomendasi (SR). Berbeda dengan Sistem Pengambil Keputusan, SR harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya adanya keterbaruan item, surprise dan keaneragaman.

Apabila kita perhatikan secara seksama, terdapat dua cara Spotify dalam merekomendasikan lagu. Pertama melalui pilihan playlist yang tersedia, misal Top Hist Indonesia atau Top Klasmen. Dalam perspektif data scienctist, cara ini sangat mudah dilakukan karena data pendengar selalu dicatat pada setiap interaksi sehingga mudah diketahui, lagu apa yang terakhir didengarkan, track mana yang di-skip dan playlist apa saja yang di follow.

Namun ada juga tipe pendengar yang riwayat datanya minimalis, misalnya pendengar baru atau track lagu baru yang belum ter-ekstraksi seluruh informasinya. Menjawab tantangan ini, digunakan teknik kedua yakni melalui mekanisme pemberian rekomendasi secara acak. Dua mekanisme ini disebut Exploitation and Explorations dijelaskan secara rinci pada jurnal internasional berjudul Explore, Exploit, and Explain: Personalizing Explainable Recommendations with Bandits oleh Mclnerney.

hasil analisis audio atas lagu Mahadewi-Padi

Lebih dari itu, Spotify memiliki fitur unggulan lainnya yakni analisis audio. Bagian ini erat kaitanya dengan bidang ilmu Digital Signal Processing. Fitur ini memungkian setiap track audio dapat dikenali pada menit keberapa verse, chorus, reff, bridge, atau solo guitar dimulai. Beberapa komponen lain seperti beats, time signature (tempo seperempat, sepertiga dsb.) dan tatums (satuan terkecil ketukan) juga dapat dikenali.

Kontribusi keberhasilan analysis audio ini membuat Spotify bisa mengelompokkan dengan mudah lagu-lagu berenergi, bernuansa sedih atau yang membuat pendengarnya bergoyang. Penelitian yang dilakukan oleh tim Soptify menyebutkan terdapat hubungan yang sang sangat erat antara pemilihan lagu dengna karakter seseorang yakni Opennes (keterbukaan), Conscientiousness (kehati-hatian), Agreebleaness (keramahan), Emotional Stability (kestabilan emosi), Extraversion.

Tidak cukup sampai disini, teknologi yang disematkan terus berkembang seiring laju pertumbuhan pendengar, artist dan bisnis. Kegelapan silam masalah legal, hak cipta, dan hak-hak lain dalam industri music kini semakin cerah. Artis pendatang baru, tetap bisa eksis melalui platform Spotify. Dengan fitur personalisasi, Spotify mampu mempertemukan artis dengan fans yang tepat. Sedangkan bagi kita penikmat music, tidak perlu lagi repot mengunduh file mp3 apalagi menyusun dalam folder-folder.

catatan : artikel ini telah dimuat pada harian Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 2020

--

--

No responses yet