Ngapain Berpikir Serius untuk Membuat Konten Konyol?
“Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak. Sepekan ini saya merasa khawatir dengan berbagai fenomena yang terjadi pada Bangsa Indonesia. Mulai dari New Normal di tengah meroketnya kenaikan pasien Covid, RUU HIP, kasus Novel Baswedan hingga perkara guyonan Bintang Emon. Tapi sebelum saya lanjutkan siapa yang tidur berisik dalam ruang virtual kita?”.
“Dinoo, pak”, jawab beberapa anak serentak, namun terdengar putus-putus.
Sayangnya, Dino lupa menonaktifkan fitur video dan audionya. Tanpa seorangpun yang tahu, rupanya ia sedang asyik memegang microphone dalam sebuah panggung stand up comedy nan megah dilihat ratusan orang. Dalam aksinya, Dino mulai bercerita.
Sebenarnya saya dulu tidak mengerti harus belajar apa. Senang rasanya kalau ke kampus bertemu teman apalagi dosen inspiratif, saya jadi banyak ide. Belakangan sejak belajar online, perasaan itu timbul tenggelam, namun saya rawat terus. Seperti rasa cinta ini yang terus kujaga untukmu. “cieee..” sambut penonton kompak. “Ding-Dung”, setiap kali ada notifikasi dari Google Classroom, saya langsung terperanjat berharap dapat suatu hal baru yang menginspirasi. Membuat otak saya kembali bekerja. Pelan-pelan saya klik notifikasi lalu baca instruksi. Ndak taunya cuma slide PPT doang. Sorak sorai tawa penonton bersahutan, tanda mengiyakan kejadian ini. Dino melanjutkan ceritanya.
Sejak bertambah dewasa, pantang rasanya minta uang. Dari sini saya belajar bahwa ternyata tipis jaraknya antara gengsi dan harapan. Dari rumah mau berangkat ke kos, pamitan orang tua. Salim bapak ibu, cium tangan dan pipi hingga ucap salam, tapi kok ga dikasih-kasih uang, sampai hati mulai cemas. Begitu mau stater motor, “Nak ini ditabung jangan dihabisin jajan”. Lega rasanya akhirnya dapat uang jajan. Nah dulu uang jajan bisa habis buat nonton, jalan, makan. Sekarang tidak dong.. habis buat hal yang lebih berfaedah untuk beli kuota. Bukan buat belajar tapi tik-tok-an sama yutube-an. Gerrrr tawa penonton semakin pecah.
Satu persatu materi disampaikan. Mulai dari fenomena new normal di tengah meroketnya kenaikan pasien Covid, RUU HIP, kasus Novel Baswedan hingga perkara guyonan Bintang Emon. Bahkan kebijakan mas menteri Nadiem Makarim mengenai perpanjangan belajar daring juga tak luput dari joke-nya. Tepuk riuh gemuruh penonton semakin menjadi. Semakin keras dan akhirnya membangunkan Dino. Akhirnya ia menutup video call karena kuliah sudah selesai.
Bila kita renungkan kembali, berapa banyak orang yang sebenarnya sama-sama tidak produktif bila dibandingkan antara masa normal (sebelum pandemi) dengan era new normal. Namun aji mumpung karena sedang ada suatu kejadian, maka bisa digunakan sebagai alasan untuk memilih tidak produktif. Dulu, seorang pelajar/mahasiswa tidak produktif pun bisa lulus cukup dengan mengikuti rule of the game dari sebuah institusi pendidikan. Saya menyebutnya dengan istilah driven by system. Sekarang keadaannya berbalik, sukses tidaknya proses belajar sangat bergantung pada willing to learn setiap individu. Tidak bisa mengandalkan sistem kurikulum seperti beberapa waktu lalu.
Pergeseran fungsi juga terjadi pada gedung-gedung bertingkat. Dulu legacy dari sebuah kesuksesan salah satunya adalah bangunan fisik. Tiba-tiba saja, sekarang orang lebih tertarik dengan konten digital. Konten yang memiliki daya tarik dahsyat, membuat banyak orang dengan interes serupa bisa berkumpul. Kemudian terjadi diskusi bahkan kolaborasi. Bisa jadi ini value yang bertahun-tahun kita coba bangun, ternyata dapat dicapai dengan cara yang relatif sederhana, bahkan tanpa disengaja.
Memproduksi konten digital juga ternyata tidak perlu serius-serius amat, jika ingin bermanfaat terhadap masyarakat lebih luas. Pada kenyataanya, konten berbalut kekonyolan jauh lebih bisa diterima masyarakat Indonesia, termasuk kita para guru, dosen dan mahasiswa. Perhatikan saja berbagai trending dan konten viral selama tiga bulan ini. Jangan berpikir serius untuk membuat konten konyol.
Rasanya berbagai fenomena yang terjadi belakangan, saling bertabrakan satu sama lain. We build a value, but others destroy it. Apa yang kita sangka hari ini benar, besok kita bisa katakan salah. Bisa jadi apa yang kita posisikan baik, ternyata tidak menyenangkan. Sebaliknya hal-hal yang kita sangka buruk, ternyata malah bisa membawa kebaikan. Konten konyol bisa jadi membawa kebaikan, konten serius justru dilupakan. Pada dasarnya kita tidak sanggup keterbatasan melihat berbagai hal secara presisi. Manusia tempatnya salah sedangkan dunia tempatnya sendau gurau dan permainan. Terlalu luas kalau kita harus mengoreksi orang lain apalagi keadaan lingkungan. Hanya satu yang bisa kita lakukan, fokus pada diri sendiri sambil memberi manfaat untuk orang lain.
Tulisan ini dipulikasikan Tribun Jogja, Rabu 1 Juli 2020