Peradaban TikTok, Apa yang dihasilkan?

Arif Akbarul Huda
3 min readMay 11, 2022

Nabila mengenakan kembali kacamata Virtual Reality (VR) Box nya. Alunan gendang dan tabuhan bonang mengalun merdu, menambah suasana syahdu. Pelan namun pasti, Nabila mengikuti beat demi beat pukulan Saron. Meskipun dirumah, namun Nabila sedang menyaksikan sajian seni budaya secara real-time, seolah-olah berada di dalam Bangsal Kraton Yogyakarta.

Nabila barangkali merupakan satu diantara segelintir generasi Zillenial yang masih bisa menikmati seni budaya tradisional. Bagi teman sebayanya, perilaku Nabila dipandang kuno. Jadul. Ketinggalan Zaman. Mengingat sekarang eranya TikTok. Sekarang zamannya Artificial Intelligence. Dunia digital menyatu dengan dunia nyata, Metaverse.

Dalam kehidupan sehari-hari Nabila sangat dekat dengan teknologi. Kenal juga dengan bitcoin. Bila jajan di Indomaret sudah beralih cashless. Dia juga main game Roblox seperti zillenial pada umumnya. Roblox disinyalir akan menjadi salah satu cikal bakal terapan dunia Metaverse. Dalam dunia tersebut, seseorang direpresentasikan dengan sosok avatar. Bukan tidak mungkin, dimensi ruang Kakbah suatu saat masuk dalam dunia Metaverse. Lalu umat islam yang hendak ber-haji melakukan simulasi tawaf mengenakan kacamata VR Box. Dalam hitungan millisecond seolah-olah suasana ruang dan waktu berada didalam Masjidil Haram.

Industri sport dan entertainment modern juga mulai masuk kedalam dunia ini. Melalui kacamata VR Box, kita bisa jalan-jalan menyusuri Downtown New York sambil mendengarkan musik. Kecanggihan Mechine Learning memungkinkan musik diputar otomatis sesuai mood dan selera kita masing-masing. Bahkan dalam hitungan bulan, kita dapat menikmati beat lagu Dynamite oleh BTS di depan Stage Venue Tokyo Dome meskipun badan kita tetap di Yogyakarta.

Meskipun teknologi canggih semakin masif, namun justru Nabila semakin mendalami historical peradaban. Rupanya denting gamelan, wayang, seni tari menjadi entry point untuk mengenal dirinya. Dia menelusuri halaman demi halaman rekomendasi Google. Menggali kisah kisah sejarah untuk diambil hikmahnya. Karena dia yakin, cerita-cerita masa lampau pasti ada lesson learned-nya. Seperti yang disampaikan Allah SWT dalam QS. Al A’raf: 176 “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”

Satu hal yang selama ini mengganjal benaknya. Bagaimana proses kreatif zaman dahulu hingga bisa menghasilkan seni hiburan yang bernilai unggul. Perangkat gamelan nilai ekonominya sangat mahal karena terbuat dari besi, perunggu dan logam lain. Belum kualitas kayu wutuh beserta ukirannya. Barang-barang ini, semkain tua usia justru semakin mahal nilainya.

Bila mendalami seni tari, tampak gerakan — gerakan halus penuh makna namun menguras energi. Posisi ndegeg separuh badan condong ke samping, tentu tidak mudah dilakukan sembarang orang. Hentakan kaki dan sampur juga harmonis, sesuai ritme alunan gamelan. Bagi manusia ber-adab, seni ini meskipun menyajikan busana setengah badan namun tidak menimbulkan syahwat. Sebaliknya, manusia — manusia kurang beradab selalu mengaitkan urusan nafsu dan syahwat terhadap segala hal. Ambisi kekuasaan, monopoli bisnis, urusan-urusan dunia berkedok agama. Jangankan busana setengah badan, manusia kurang beradap bahkan memandang busana utuh pun dengan syahwat.

sumber https://www.kratonjogja.id/

Begitupula dengan seni wayang, ketoprak ataupun sejenisnya. Dibutuhkan effort yang luarbiasa jenius dari seorang dhalang. Khususnya dalam merangkai narasi cerita sekaligus memadukan seluruh perangkat instrumen gamelan. Seorang dhalang, harus bisa mengomando puluhan niyogo (sebutan penabuh gamelan). Padahal, setiap orang memiliki nalar berpikir yang pasti berbeda. Namun harus disatupadukan supaya menghasilkan seni hiburan yang ber-adab. Bahkan tidak sedikit luaran-luaran seni budaya dan entertainment pada zaman itu berdampak positif dalam perjalanan hidup pelakunya, hingga menemukan hakikat Tuhan.

Bagi Nabila, peradaban zaman dahulu terbukti menghasilkan seni budaya dan hiburan yang bernilai tinggi. Melibatkan olah rasa, batin dan energi khususnya bagi pelakunya. Berbeda dengan zaman TikTok, hiburannya cenderung menyajikan goyang — goyang funny. It’s Just Fun. Bahkan cenderung kearah negatif, memamerkan hal-hal yang tidak sepatutnya dipamerkan.

Apabila kemajuan teknologi yang sangat masif ini tidak berdampak signifikan terhadap lahirnya seni budaya yang beradab, apakah era kecanggihan teknologi justru merupakan sebuah kemunduruan?

--

--