Ternyata, Menggubah Musik Itu Mirip Penelitian Ilmiah! Begini Ceritanya

Arif Akbarul Huda
3 min readAug 30, 2024

--

Keseharian saya sebagai dosen IT sekaligus software engineer, sehingga perilaku riset sangat mendarah daging bahkan dalam bermusik. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pemilik lagu, saya sering dengan sengaja menggubah aransemen dengan tujuan non-profit.

Kamu tahu nggak sih, penggubahan aransemen musik itu nggak cuma soal memainkan ulang lagu melainkan juga soal bikin musik yang nyambung seama telinga pendengar. Setiap audiens punya selera yang berbeda-beda. Ada yang suka musik simple dan ceria, beberapa juga suka yang kompleks dan menyayat. Nah, tantangan buat penggubah, harus bisa menempatkan diri dalam sudut pandang pendengar. Pada beberapa metodologi penelitian, bagian ini disebut sebagai empathy atau user requirement analysis.

Buat kamu yang pengen ngerti lebih dalam soal gimana caranya menyesuaikan musik dengan selera audiens, ada beberapa studi keren yang bisa jadi pegangan. Rentfrow dan Gosling (2003) yang nemuin kalau selera musik itu nyambung sama kepribadian orang. Jadi, kalau kamu mau bikin aransemen musik, bisa banget kamu sesuaikan dengan karakter psikologis audiensmu.

Studi lain dari North dan Hargreaves (1997) bilang kalau makin “greget” sebuah musik, makin besar kemungkinan audiens bakal suka. Jadi, penting banget buat ngatur aransemen biar pas dengan ekspektasi emosional mereka.

Dan nggak ketinggalan, Levitin (2006) bilang kalau pengalaman pribadi dan budaya juga berpengaruh besar pada selera musik kita. Ini berarti kalau kamu bikin musik yang sesuai dengan latar belakang sosial audiens, kemungkinan besar mereka bakal lebih nyambung sama musikmu. Intinya, dengan ngerti semua ini, kamu bisa bikin aransemen musik yang lebih nendang buat audiensmu.

Percaya atau nggak, penggubahan musik itu mirip-mirip sama riset ilmiah, lho. Bayangin, penggubah mulai dengan ngeidentifikasi masalah — misalnya, gimana bikin lagu klasik lebih asik buat anak zaman now atau gimana nyesuain lagu pop biar diterima sama audiens dari berbagai budaya. Kayak riset ilmiah, penggubah bakal ngumpulin data, referensi, dan ngerjain eksperimen buat nemuin aransemen yang paling nge-hits.

Eksperimen ini biasanya ngelibatin trial and error, alias coba-coba dulu sampai dapet hasil yang pas. Penggubah juga harus bisa nebak-nebak gimana audiens bakal bereaksi sama perubahan yang mereka bikin di aransemen. Ini mirip banget sama bikin hipotesis dan ngetesnya dalam riset ilmiah. Baik riset maupun penggubahan musik keduanya sama-sama berkontribusi novelty terhadap domainnya. Jadi, bisa dibilang, penggubahan musik itu kayak riset ilmiah versi kreatif. Bedanya, kalau ilmuwan ngeriset buat nemuin kebenaran, penggubah ngeriset buat nemuin yang bikin musiknya paling asik.

Meskipun proses penggubahan musik itu sama canggihnya sama riset ilmiah, tapi cara pengakuan dan reputasinya beda banget. Di dunia riset, reputasi diukur lewat berapa kali karya ilmiahmu di-quote sama orang lain dan diterbitkan di jurnal-jurnal yang masuk daftar Scopus. Kalau di dunia musik, reputasi lebih dilihat dari seberapa hits karya kamu di kalangan audiens, menangin penghargaan musik, atau dapet pujian dari sesama musisi.

Tapi jangan salah, sekarang ada platform digital kayak Spotify, YouTube, dan SoundCloud yang ngasih metrik-metrik kayak jumlah streaming, likes, dan engagement. Ini mulai mirip-mirip sama metrik di dunia riset, walaupun tetap aja pengakuannya lebih ke arah selera pasar dan respon audiens, bukan berdasarkan sitasi ilmiah. Jadi, kalau penggubahan musik itu sepadan sama riset ilmiah dalam hal prosesnya, pengakuannya aja yang beda. Yang satu diukur pake sitasi dan impact factor, yang satu lagi diukur pake popularitas dan likes.

Referensi

  • Rentfrow, P. J., & Gosling, S. D. (2003).
    “The Do Re Mi’s of Everyday Life: The Structure and Personality Correlates of Music Preferences.”
    Journal of Personality and Social Psychology, 84(6), 1236–1256.
    DOI: 10.1037/0022–3514.84.6.1236
  • North, A. C., & Hargreaves, D. J. (1997).
    “Liking, Arousal Potential, and the Emotions Expressed by Music.”
    Scandinavian Journal of Psychology, 38(1), 45–53.
    DOI: 10.1111/1467–9450.00008
  • Levitin, D. J. (2006).
    This Is Your Brain on Music: The Science of a Human Obsession.
    Dutton/Penguin.
    ISBN: 978–0452288522.

--

--

No responses yet