Tips Jitu Mengkonversi Kesibukan menjadi Amal Sholeh
Rupanya produktif berbeda dengan sibuk.
Berbagai cerita perjalanan sukses orang hebat seringkali menginspirasi ruang-ruang kosong pemikiran kita. Misalnya Nadiem Makarim. Dia merupakan salah satu tokoh populer dengan rangkaian kisah pembawa perubahan melalui Go-Jek hingga berhasil menjadi menteri termuda. Cerita perjalanan suksesnya menghiasi sudut-sudut kelas dan ruang seminar. Lika-liku perjalanannya mampu melejitkan semangat kita untuk selalu bekerja mengejar sekaligus mewujudkan mimpi.
Alih-alih mimpi terkejar, sebagian orang justru tersesat dalam kesibukan yang tiada berujung. Seolah-olah mengerjakan banyak hal namun hasilnya tampak sedikit. Ketidakmampuan mengatakan tidak atas sebuah kesempatan, semakin memperbanyak rentetan pekerjaan. Meskipun ada orang yang berdalih bisa produktif mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan (multitasking), namun pada faktanya berganti-ganti urusan dalam waktu relatif singkat sungguh sangat melelahkan. Rupanya produktif berbeda dengan sibuk.
Menurut KBBI produktif merupakan suatu hal yang bisa menghasilkan dalam jumlah besar. Dalam konteks berorganisasi, produktif dapat dimaknai sebagai mekanisme yang menghasilkan inovasi-inovasi secara autonomous dan berdampak luas. Sedangkan sibuk atau kesibukan lebih cenderung dimaknai sebagai banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dalam satu waktu.
Bagaimana supaya kita terbebas dari kesibukan? Solusinya bisa beda-beda, tidak bisa copy-paste. Strategi manajemen produktivitas seorang Nadiem Makarim belum tentu sesuai dengan diri kita. Setiap orang harus menemukan sendiri formula yang pas dalam mengelola produktivitasnya. Cara paling umum adalah menuliskan kembali daftar pekerjaan pada todo list, komitmen, hingga mengatur waktu istirahat. Beberapa sumber merekomendasikan pola istirahat sepuluh menit setiap dua jam.
Tentu saja mengelola produktivitas tidak semudah membaca tips dan triknya, namun itu semua tergantung pada mindset seseorang. Apabila kita belajar pada sistem kehidupan yang diatur oleh Tuhan, rupanya Tuhan sudah memberi ramuan untuk mengelola hal tersebut. Kesempatan break diatur sedemikian rupa lima waktu dalam sehari dengan jarak yang proporsional. Jarak antara waktu Dzuhur ke Ashar kurang lebih dua jam. Begitu pula Ashar ke Maghrib hingga berlanjut ke Isya berjarak satu hingga dua jam. Alokasi waktu satu hingga dua jam sangat ideal untuk disisipi tasks todo harian yang sudah di-breakdown sekecil mungkin. Kuncinya ada pada evaluasi pada iterasi istirahat berikutnya.
Pada pagi hingga siang hari, kita jumpai waktu Subuh hingga Dzuhur berjarak kurang lebih enam sampai delapan jam. Durasi waktu yang cukup panjang untuk mengakselerasi produktivitas. Tanpa harus meninggalkan pola istirahat setiap dua jam, rupanya Tuhan membuat additional break time yakni waktu Dhuha yang bisa saja kita tempatkan pada jam delapan dan sepuluh. Kita sudah tidak perlu repot mengelola waktu karena sudah dibekali sistem dari Tuhan. Tinggal mindset saja yang dikelola yakni sambil menunggu waktu ibadah berikutnya kita manfaatkan untuk bekerja. Apalagi setiap permulaan bekerja diawali dengan menyebut nama Tuhan. Rasanya Tuhan akan memberi reward pekerjaan kita setara dengan Ibadah yang kelak bisa dipanen oleh anak-cucu ataupun kita sendiri dalam jenjang kehidupan berikutnya.
Demi bergulirnya waktu, pada dasarnya manusia selalu dalam keadaan rugi melainkan bagi orang yang memiliki kesadaran penuh akan keberadaan Tuhan dan selalu mengerjakan perbuatan baik serta bermanfaat bagi orang lain.
Artikel ini telah dimuat pada harian Tribunjogja pada 11 Desember 2019