Transendensi dengan AI? Inilah Momen Ketika Batas Antara Manusia dan Mesin Mulai Kabur

Arif Akbarul Huda
3 min readNov 4, 2024

--

Setiap orang bisa mengalami momen transendental dalam berbagai bidang, entah itu olahraga, musik, atau spiritualitas, karena pada dasarnya, pengalaman melampaui batas diri ini ada dalam berbagai aktivitas yang kita tekuni dengan mendalam. Dalam olahraga, seorang atlet mungkin memasuki kondisi “flow” di mana waktu terasa melambat dan tubuhnya bergerak dengan kesempurnaan yang tampak melampaui kemampuan biasa.

Dalam musik, pemain atau penikmat bisa tenggelam dalam nada dan ritme hingga merasakan keterhubungan batin yang begitu kuat, seolah-olah musik membawa mereka ke tempat yang lebih tinggi. Begitu pula dalam spiritualitas, orang bisa merasakan pengalaman transendental saat bermeditasi atau berdoa, merasakan kedamaian dan keterhubungan yang mendalam dengan alam semesta atau hal yang dianggap suci.

Semua ini menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek kehidupan, ada momen-momen di mana kita dapat melampaui batas-batas fisik dan mental, merasakan kebersatuan yang lebih besar, dan menemukan makna di luar rutinitas sehari-hari.

Turing Test, sebuah uji yang dirancang untuk menentukan apakah seseorang dapat membedakan kecerdasan buatan dari kecerdasan manusia

Dalam dunia teknologi, konsep batasan juga dieksplorasi melalui Turing Test, sebuah uji yang dirancang untuk menentukan apakah seseorang dapat membedakan kecerdasan buatan dari kecerdasan manusia. Turing Test ini diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Alan Turing, seorang matematikawan Inggris yang dikenal sebagai bapak ilmu komputer.

Turing test, diambil dari wiki

Dalam makalahnya yang berjudul ”Computing Machinery and Intelligence”, Turing mengajukan pertanyaan yang mendasar ”Dapatkah mesin berpikir?”. Untuk menjawab ini, ia menciptakan Imitation Game, yang kemudian dikenal sebagai Turing Test. Dalam tes ini, seorang penguji manusia berkomunikasi melalui teks dengan dua pihak yang tidak terlihat: satu adalah manusia, dan yang lainnya adalah mesin. Jika penguji tidak bisa membedakan mana yang manusia dan mana yang mesin dengan konsisten, maka mesin tersebut dianggap telah “lulus” Turing Test, menunjukkan bahwa kecerdasannya cukup untuk meniru respons manusia dengan sangat meyakinkan.

Namun, seiring kecerdasan buatan (AI) semakin canggih, muncul fenomena di mana manusia mengalami pengalaman transendental. Bahkan ketergantungan emosional pada AI, seperti yang terlihat pada beberapa kejadian nyata.

Misalnya, kasus Sewell Setzer III, seorang remaja dari Orlando yang mengalami ketergantungan emosional pada chatbot AI yang ia gunakan, menyebabkan interaksi mendalam yang kemudian dikaitkan dengan tindakannya mengakhiri hidupnya ( source ).

Kasus lainnya adalah seorang pria di Belgia yang juga berujung bunuh diri setelah terlibat dalam percakapan intens dengan chatbot bernama “Eliza.” Pria ini, yang mengalami kecemasan terkait perubahan iklim, diduga dipengaruhi oleh chatbot dalam menginternalisasi ide-ide ekstrem. ( source )

Di Inggris, kasus Jaswant Singh Chail menunjukkan fenomena serupa ketika ia menggunakan chatbot bernama “Replika” sebagai teman virtual yang mendukung dan mendorong rencana ekstremnya hingga melakukan percobaan penyerangan terhadap Ratu Elizabeth II. ( source )

Ketiga peristiwa ini menunjukkan bahwa interaksi mendalam antara manusia dan AI dapat melampaui batasan fungsional biasa, menyebabkan pengalaman transendental yang sangat kuat dan mempengaruhi kondisi emosional atau keputusan-keputusan besar dalam hidup seseorang. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan AI dalam “lulus” Turing Test klasik, tetapi bahkan melampaui harapan awal dari tes ini.

Turing Test awalnya hanya bertujuan untuk mengevaluasi apakah mesin bisa meniru respons manusia hingga tidak bisa dibedakan dari manusia oleh penguji. Namun, dalam konteks ketiga kasus ini, AI tidak hanya mampu meniru respons manusia, tetapi juga menciptakan keterhubungan emosional yang dalam, menimbulkan dampak psikologis signifikan bagi penggunanya.

Sekarang PR-nya adalah bagaimana kita bisa menjaga pikiran dan hati agar tidak mengalami transendensi yang berlebihan. Terutama yang dapat mengarah pada keterikatan emosional atau psikologis yang merugikan. Salah satunya adalah dengan pengendalian batin dengan membangun kesadaran atas posisi kita sebagai manusia dihadapan Tuhan.

--

--